Jumat, 30 Maret 2012

kisaran mangsa serangga

J. Entomol. Indon., September 2011, Vol. 8, No. 2, 96-109
96
Perhimpunan Entomologi Indonesia
Keanekaragaman dan Kelimpahan Musuh Alami Bemisia
tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae) pada
Pertanaman Cabai Merah di Kecamatan Pakem,
Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
HENDRIVAL1), PURNAMA HIDAYAT*2) DAN ALI NURMANSYAH2)
1)Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Malikussaleh, Jalan
Banda Aceh-Medan, Kampus UNIMAL Cot Tengku Nie, Reuleut,
Kabupaten Aceh Utara.
2)Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Jalan
Kamper Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680
(diterima Maret 2011, disetujui Juni 2011)
ABSTRAK
Keanekaragaman dan Kelimpahan Musuh Alami Bemisia tabaci (Gennadius)
(Hemiptera: Aleyrodidae) pada Pertanaman Cabai Merah di Kecamatan
Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian tentang
keanekaragaman dan kelimpahan musuh alami Bemisia tabaci di pertanaman cabai
merah telah dilakukan di Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, DIY selama
musim kemarau Mei-Oktober 2009. Penelitian bertujuan untuk mempelajari
keanekaragaman dan kelimpahan spesies parasitoid dan predator dari B. tabaci.
Pengambilan sampel spesies parasitoid dan predator dilakukan dengan
menggunakan nampan kuning, jaring serangga, pengamatan langsung pada tajuk
tanaman, dan pengumpulan nimfa-nimfa B. tabaci. Keanekaragaman serangga
dihitung menggunakan indeks keanekaragaman Shannon dan sebaran. Spesies
predator yang ditemukan di pertanaman cabai merah adalah Harmonia
octomaculata (Fabricius), Menochilus sexmaculata (Fabricius), Scymnus sp.,
Micraspis inops Mulsant, Coccinella sp., (Coleoptera: Coccinellidae), Paederus
fuscipes Curtis (Coleoptera: Staphylinidae), Orius sp. (Hemiptera: Anthocoridae),
Linyphiidae (Araneae), dan Syrphidae (Diptera). Parasitoid Eretmocerus sp. (Hymenoptera:
Aphelinidae) ditemukan memarasit nimfa-nimfa B. tabaci mempunyai
potensi yang baik untuk mengendalikan nimfa B. tabaci di pertanaman cabai
merah.
KATA KUNCI: Bemisia tabaci, keanekaragaman, kelimpahan, parasitoid,
predator
ABSTRACT
Natural Enemy Diversity and Abundance of Bemisia tabaci (Gennadius)
(Hemiptera: Aleyrodidae) on Chili Pepper Fields in Sub-district of Pakem,
District of Sleman, The Special Province of Yogyakarta. Research on natural
enemies of Bemisia tabaci was conducted in the chili pepper fields in Sub-district
of Pakem, District of Sleman, The Special Province of Yogyakarta during the dry
season of May-October 2009. The aims of this research were to study the diversity
*Korespondensi:
Email: purhidayat@gmail.com
Hendrival et al.,: Keanekaragaman dan Kelimpahan Musuh Alami Bemisia tabaci
97
and abundance of parasitoid and predator species associated with B. tabaci.
Samplings of insect species were done using yellow pan trap, sweep net, direct
observation of insects colonized young leaves, and collection of nymphs for B.
tabaci. Measurement of insect diversity was calculated using Shannon’s index
diversity and Evenness index. Nine species of insect predator were identified, i.e.
Harmonia octomaculata (Fabricius), Menochilus sexmaculata (Fabricius),
Scymnus sp., Micraspis inops Mulsant, Coccinella sp. (Coleoptera: Coccinellidae),
Paederus fuscipes Curtis (Coleoptera: Staphylinidae), Orius sp. (Hemiptera:
Anthocoridae), Linyphiidae sp.1 (Araneae), and Syrphidae sp.1 (Diptera).
Eretmocerus sp. (Hymenoptera: Aphelinidae) was the only parasitoid found in the
nymphs B. tabaci collected and has the potential to control B. tabaci in the red
pepper fields.
KEY WORDS: Bemisia tabaci, diversity, abundance, parasitoid, predator
PENDAHULUAN
Bemisia tabaci tergolong serangga
polifag (Frohlich et al. 1999) dan
tersebar luas di daerah tropik dan
subtropik (Delatte et al. 2005). B.
tabaci dapat menyebabkan terbentuknya
bintik-bintik klorotik pada daun
karena tusukan stiletnya dan penutupan
stomata oleh embun madu yang dihasilkannya
(Byrne & Bellow 1991). B.
tabaci merupakan serangga vektor
yang dilaporkan mampu menularkan
110 jenis virus tanaman (Jones 2003).
Salah satu virus yang ditularkan oleh B.
tabaci adalah pepper yellow leaf curl
virus (PepYLCV) yang menyebabkan
penyakit daun keriting kuning cabai
pada tanaman cabai merah (Tsai et al.
2006). Pertanaman cabai di Indonesia
telah banyak dilaporkan terserang
penyakit daun keriting kuning cabai
yang disebabkan oleh PepYLCV
(Sudiono & Yasin 2006). Kehilangan
hasil tanaman cabai merah akibat
serangan B. tabaci dan penyakit keriting
kuning cabai berkisar antara
20% sampai 100% (Setiawati et al.
2007). Upaya pengendalian yang
umum dilakukan petani adalah penggunaan
insektisida. Namun tindakan
tersebut belum mampu menurunkan
tingkat serangan dari B. tabaci, karena
B. tabaci diduga berasal dari populasi
yang telah resisten terhadap insektisida
seperti golongan organofosfat,
karbamat dan piretroid sintetik (De
Barro 1995; Sugiyama 2005). Pengendalian
hayati merupakan salah
satu komponen pengendalian hama
terpadu yang memiliki peranan dalam
mencegah berkembangnya populasi B.
tabaci yang telah resisten terhadap
insektisida (Hoddle et al. 1998; Faria
& Wraight 2001). Musuh alami memiliki
peranan penting dalam mengendalikan
populasi B. tabaci yang
telah resisten terhadap insektisida
(Naranjo & Ellsworth 2009).
Musuh alami hama B. tabaci
berdasarkan fungsinya dikelompokkan
menjadi predator dan parasitoid (Naranjo
et al. 2002; Gerling et al. 2001),
serta patogen (Gindin et al. 2000; Faria
& Wraight 2001). Kelompok predator
B. tabaci meliputi famili CocciJ.
Entomol. Indon., September 2011, Vol. 8, No. 2, 96-109
98
nellidae, Staphylinidae, Chrysopidae,
Cecidomyiidae, Dolichopodidae, Syrphidae,
Anthocoridae, Miridae, Nabidae,
Phytoseiidae, dan Araneae
(Castineiras 1995; Gerling et al. 2001;
Naranjo et al. 2002). Parasitoid dari B.
tabaci meliputi famili Aphelinidae dan
Platygasteridae (Castineiras 1995;
Gerling et al. 2001). Parasitoid famili
Aphelinidae ordo Hymenoptera merupakan
parasitoid yang potensial sebagai
agen pengendali hayati dan
banyak menyerang nimfa B. tabaci
(Kirk et al. 2001) seperti dari genus
Eretmocerus dan Encarsia (Gerling et
al. 2001). Predator generalis dan parasitoid
dari famili Aphelinidae seperti
genus Eretmocerus dan Encarsia
merupakan faktor pengatur dalam perkembangan
populasi B. tabaci pada
berbagai tanaman (Naranjo & Ellsworth
2009). Informasi keanekaragaman
dan kelimpahan musuh alami B.
tabaci di pertanaman cabai merah
masih sedikit, sedangkan peranan musuh
alami sangat penting dalam mengatur
keseimbangan populasi B.
tabaci. Penelitian dilakukan untuk mengetahui
keanekaragaman dan kelimpahan
spesies parasitoid dan predator
dari B. tabaci di pertanaman cabai
merah.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Desa
Harjobinangun, Kecamatan Pakem,
Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta selama musim kemarau
pada bulan Mei sampai Oktober 2009.
Lokasi penelitian berada pada ketinggian
343 meter di atas permukaan laut
dan terletak pada 070 40.814 LS dan
1100 242.51 LU. Identifikasi serangga
parasitoid dan predator dilakukan di
Laboratorium Taksonomi Serangga,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Persiapan Tanaman Cabai Merah.
Penelitian dilaksanakan pada dua
lahan masing-masing seluas 34 m x 12
m, kedua lahan terletak secara terpisah
dengan jarak 100 m. Setiap lahan
terdiri dari dua petak dengan panjang
16 m dan lebar 10 m, sehingga terdapat
empat petak sebagai ulangan. Setiap
petak terdiri dari lima bedengan
dengan ukuran panjang 15 m, lebar 1
m, dan tinggi 0,4 m serta jarak antar
bedengan 0,5 m. Varietas cabai merah
yang digunakan adalah TM 999 yang
merupakan varietas cabai yang umum
ditanam oleh petani setempat. Bibit
ditanam dengan jarak tanam 50 cm
(dalam barisan) dan 60 cm (antarbaris)
sehingga dalam bedengan terdapat 60
tanaman. Budidaya tanaman cabai
merah mengikuti kebiasaan petani
setempat, kecuali aplikasi insektisida
dan penyiangan gulma yang tidak
dilakukan selama pertumbuhan tanaman.
Pengambilan Sampel.
Pengamatan terhadap keanekaragaman
dan kelimpahan spesies parasitoid
dan predator dari B. tabaci dilakukan
untuk menggambarkan jumlah
Hendrival et al.,: Keanekaragaman dan Kelimpahan Musuh Alami Bemisia tabaci
99
spesies dan kelimpahan parasitoid dan
predator di pertanaman cabai merah.
Metode pengumpulan serangga dilakukan
dengan berbagai cara tergantung
pada jenis serangga dan
habitatnya. Metode pengambilan sampel
serangga dengan jaring ayun
digunakan untuk menangkap serangga
pada daun-daunan atau rumput-rumputan
dan pada areal pertanaman yang
berbentuk perdu seperti pertanaman
cabai merah. Metode pengamatan
langsung dilakukan terhadap spesies
serangga, termasuk predator, yang terdapat
pada tajuk tanaman. Pemerangkapan
merupakan metode pengumpulan
serangga dengan menggunakan
perangkap seperti nampan kuning.
Metode tersebut memiliki kemampuan
memikat predator dan parasitoid secara
fisik. Metode pengumpulan serangga,
termasuk pada stadia nimfa-nimfa, dilakukan
untuk mengetahui jenis-jenis
parasitoid yang berasosiasi dengan
serangga.
Metode pengambilan sampel spesies
parasitoid dan predator dilakukan
dengan menggunakan jaring ayun
(sweep net), nampan kuning (yellow
pan trap), pengamatan langsung, dan
pengumpulan nimfa-nimfa B. tabaci
dari tanaman cabai merah. Jaring ayun
digunakan untuk pengambilan serangga
pada tajuk tanaman atau gulma
yang tumbuh di sekitar pertanaman
cabai merah. Jaring ayun berbentuk
kerucut, mulut jaring terbuat dari
kawat melingkar (diameter 30 cm) dan
jaring terbuat dari kain kasa. Pengambilan
dilakukan dengan mengayunkan
jaring ke kiri dan ke kanan
secara bolak-balik sebanyak 20 kali
sambil berjalan. Perangkap nampan
kuning ditempatkan pada tempat yang
terbuka di pinggir petak pertanaman
cabai merah. Untuk membunuh serangga
yang hinggap pada nampan
kuning, ke dalam nampan tersebut
dimasukkan larutan air sabun untuk
mengurangi tegangan permukaan, sehingga
serangga yang masuk akan
tenggelam dan mati. Pada setiap lahan
pertanaman ditempatkan empat nampan
kuning dan dibiarkan selama 24
jam.
Teknik pengamatan langsung pada
tajuk tanaman juga dilakukan terhadap
predator yang terdapat pada tajuk
tanaman dengan mengamati delapan
tanaman sampel per bedengan. Teknik
pengamatan langsung juga dilakukan
dengan mengumpulkan nimfa-nimfa B.
tabaci yang terdapat pada daun dari
tanaman cabai merah. Metode pengambilan
sampel daun dilakukan secara
acak untuk mengamati nimfa B. tabaci
dari setiap tanaman sampel (delapan
tanaman sampel per bedengan) dengan
mengambil daun dari bagian atas,
tengah, dan bawah dari tanaman. Pada
tanaman sampel diambil enam daun
(dua bagian atas, dua bagian tengah,
dan dua bagian bawah). Daun-daun
sampel disimpan di dalam kantung
plastik untuk dilakukan pemeriksaan
terhadap nimfa B. tabaci dengan
J. Entomol. Indon., September 2011, Vol. 8, No. 2, 96-109
100
menggunakan mikroskop stereo. Daundaun
yang terdapat nimfa B. tabaci
dimasukkan secara terpisah ke dalam
cawan petri dan nimfa-nimfa tersebut
dipelihara sampai menjadi stadia imago.
Parasitoid-parasitoid yang muncul
dikumpulkan dan dilakukan pencatatan
terhadap jenis parasitoid yang muncul.
Serangga yang tertangkap disimpan
dalam botol koleksi yang telah
diisi dengan larutan alkohol 70% untuk
selanjutnya diidentifikasi di Laboratorium
Taksonomi Serangga, Institut
Pertanian Bogor. Semua serangga yang
diperoleh dipisahkan berdasarkan ordonya
dan identifikasi dilakukan sampai
tingkat takson spesies berdasarkan
Goulet & Huber (1993), Shepard et al.
(1995), Evans & Serra (2002), dan
Evans (2009) serta dihitung jumlahnya.
Pengelompokan serangga parasitoid
dan predator dari B. tabaci dilakukan
berdasarkan panduan dari Gerling et al.
(2001). Pengamatan keanekaragaman
dan kelimpahan spesies parasitoid dan
predator dilakukan setiap minggu,
mulai tanaman cabai merah berumur 1
sampai 16 minggu setelah tanam
(MST).
Analisis data.
Keanekaragaman serangga dihitung
menggunakan indeks keanekaragaman
Shannon dan indeks kemerataan
(Magurran 1996; Krebs 1999).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keanekaragaman Spesies Predator
dan Parasitoid
Jumlah spesies predator B. tabaci
yang berhasil tertangkap berbeda-beda
berdasarkan jenis perangkap yang
digunakan. Setelah dilakukan identi
fikasi, spesies-spesies predator tersebut
adalah Linyphiidae sp. (Araneae), H.
octomaculata, M. sexmaculata, Scymnus
sp., M. inops, dan Coccinella sp.
(Coleoptera: Coccinellidae), P. fusci
pes (Coleoptera: Staphylinidae), Orius
sp. (Hemiptera: Anthocoridae), dan
Syrphidae sp.1 (Diptera). Indeks keanekaragaman
Shanon (H) dan indeks
kemerataan (E) spesies predator lebih
tinggi dijumpai pada metode pengamatan
langsung pada tajuk tanaman
yaitu 2,05 dan 0,93. Indeks H dan E
spesies predator pada metode jaring
ayun adalah 1,96 dan 0,89 serta metode
nampan kuning adalah 1,24 dan
0,89. Jumlah spesies parasitoid yang
terkoleksi pada metode jaring ayun,
nampan kuning, dan pengumpulan
nimfa-nimfa B. tabaci adalah berturutturut
2 spesies, 2 spesies, dan 1 spesies.
Spesies parasitoid tersebut adalah
Encarsia sp. dan Eretmocerus sp.
(Hymenoptera: Aphelinidae). Pada metode
pengumpulan nimfa-nimfa B.
tabaci dari daun cabai merah hanya
terdapat satu spesies parasitoid yaitu
Eretmocerus sp. Jumlah spesies parasitoid
lebih tinggi pada metode jaring
ayun dan nampan kuning dibandingkan
metode pengumpulan nimfa-nimfa B.
Hendrival et al.,: Keanekaragaman dan Kelimpahan Musuh Alami Bemisia tabaci
101
tabaci. Keanekaragaman dan sebaran
spesies parasitoid lebih tinggi dijumpai
pada metode jaring ayun yaitu 0,66
dan 0,96 dibandingkan metode nampan
kuning (Tabel 1).
Perolehan serangga predator dari
berbagai metode pengumpulan serangga
menunjukkan bahwa kelompok
predator dari famili Coccinellidae memiliki
jumlah spesies paling tinggi
dibandingkan spesies predator dari
famili lainnya (Tabel 1). Famili Coccinellidae
diketahui sebagai predator
berbagai jenis serangga hama dan lebih
memangsa kutu daun. Walaupun demikian
dilaporkan oleh Gerling et al.
(2001) bahwa spesies predator Coccinellidae
merupakan predator oligofag
yang banyak memangsa nimfa B.
tabaci pada tanaman kapas dan
Dialeurodes citri pada tanaman jeruk.
Dinyatakan oleh Cohen & Brummett
(1997) bahwa kisaran mangsa predator
dari B. tabaci dapat dipengaruhi oleh
kualitas nutrisi mangsa; pada saat
populasi B. tabaci menurun, banyak
spesies predator mencari mangsa yang
sesuai untuk perkembangan dan reproduksinya
misalnya dengan memangsa
kutu daun. Spesies predator
yang memiliki kisaran mangsa yang
luas dapat berada pada tanaman pada
waktu yang lebih lama dan secara
efektif mengatur peledakan populasi B.
tabaci.
Serangga predator lainnya yang
dijumpai dari berbagai metode pengambilan
sampel adalah famili Anthocoridae,
Syrphidae, dan Staphylinidae.
Famili Anthocoridae merupakan
predator penting dalam pengendalian
hayati dan memangsa thrips dan telur
serangga hama seperti Ostrinia
nubilalis (Driesche & Bellows 1996),
kutu daun dan tungau (Bugg et al.
2008). Serangga pradewasa dari famili
Syrphidae merupakan predator yang
memangsa kutu daun dan serangga
hama lainnya (Bugg et al. 2008);
sementara imago dari famili Syrphidae
berperan sebagai polinator pada tanaman
sayuran dan buah-buahan seperti
famili Asteraceae, Brassicaceae, dan
Rosaceae (Ghahari et al. 2008).
Paederus fuscipes merupakan predator
yang juga memangsa B. tabaci
(Gerling et al. 2001). Larva P. fuscipes
hidup dan mencari mangsa pada
permukaan tanah terutama pada daerah
dengan kelembaban tinggi dan banyak
mengandung sisa-sisa tanaman. Imago
P. fuscipes lebih sering berasosiasi
dengan tajuk tanaman untuk mencari
mangsa.
Parasitoid Encarsia sp. dan
Eretmocerus sp. merupakan parasitoid
utama dari B. tabaci seperti dilaporkan
oleh Castineiras (1995) dan Gerling et
al. (2001). Dari hasil pengumpulan
nimfa-nimfa B. tabaci, hanya parasitoid
Eretmocerus sp. yang ditemukan
memarasit nimfa B. tabaci dan parasitoid
Encarsia sp. tidak ditemukan
memarasit nimfa B. tabaci. Hasil
pengamatan di pertanaman cabai merah
menunjukkan bahwa nimfa B.
102
Tabel 1 Jumlah ordo (O), famili (F), spesies (S), jumlah individu (N), indeks keanekaragaman Shannon (H ), dan indeks kemerataan (E)
predator dan parasitoid dari B. tabaci pada setiap metode pengambilan sampel di pertanaman cabai merah pada musim kemarau
Juni sampai Oktober tahun 2009 di Desa Harjobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, DIY
Metode pengumpulan
No.
Kelompok
fungsional
Ordo Famili Spesies
Jaring ayun
Nampan
kuning
Pengamatan langsung
pada tajuk tanaman
Pengumpulan
nimfa-nimfa B.
tabaci
1 Predator Araneae Linyphiidae Linyphiidae sp. 1 96 202 -a
2 Predator Coleoptera Coccinellidae H. octomaculata 159 8 186 -
3 Predator Coleoptera Coccinellidae M. sexmaculata 308 24 306 -
4 Predator Coleoptera Coccinellidae Scymnus sp. 46 81 -
5 Predator Coleoptera Coccinellidae Micraspis inops 225 6 141 -
6 Predator Coleoptera Coccinellidae Coccinella sp. 202 166 -
7 Predator Coleoptera Staphylinidae P. fuscipes 261 17 345 -
8 Predator Hemiptera Anthocoridae Orius sp. 21 40 -
9 Predator Diptera Syrphidae Syrphidae sp. 1 53 110 -
Jumlah ordo 4 1 4 -
Jumlah famili 5 2 5 -
Jumlah spesies 9 4 9 -
Jumlah individu 1371 55 1577 -
H 1,9697 1,2468 2,0502 ttb
E 0,8964 0,8994 0,9331 tt
10 Parasitoid Hymenoptera Aphelinidae Encarsia sp. 70 92 -c
11 Parasitoid Hymenoptera Aphelinidae Eretmocerus sp. 109 270 - 695
Jumlah ordo 1 1 - 1
Jumlah famili 1 1 - 1
Jumlah spesies 2 2 - 1
Jumlah individu 179 362 - 695
H 0,6692 0,5668 - tt
E 0,9654 0,8177 - tt
Hendrival et al.,: Keanekaragaman dan Kelimpahan Musuh Alami Bemisia tabaci
102
Hendrival et al.,: Keanekaragaman dan Kelimpahan Musuh Alami Bemisia tabaci
103
tabaci mulai ditemukan terparasit oleh
Eretmocerus sp. pada 2 MST dengan
tingkat parasitisasi mencapai 12,9%.
Selama pertumbuhan tanaman cabai
merah terjadi empat kali peningkatan
parasitisasi parasitoid Eretmocerus sp.
yaitu pada 5 MST, 7 MST, 10 MST,
dan 13 MST dengan tingkat parasitisasi
berturut-turut mencapai 39,1%;
41,1%; 55,5%; dan 57,6%. (Gambar 1).
Proses parasitisasi Eretmocerus sp. di
pertanaman cabai merah dipengaruhi
oleh keragaman vegetasi. Selama pertumbuhan
tanaman cabai merah tidak
dilakukan penyiangan gulma, sehingga
banyak dijumpai gulma yang tumbuh
di bedengan pertanaman. Ekosistem
yang demikian dapat mendukung keberadaan
musuh alami seperti parasitoid
(Smith et al. 1997). Spesiesspesies
gulma yang tumbuh di pertanaman
budidaya berperan sebagai
tempat berlindung imago parasitoid
dan menyediakan inang alternatif musuh
alami seperti menurut Norris &
Kogan (2005).
Spesies gulma yang menjadi inang
B. tabaci dapat bermanfaat dalam
menyediakan inang alternatif dan
konservasi parasitoid Eretmocerus sp.
di pertanaman cabai merah. Castineiras
(1995), Gerling et al. (2001), dan Kirk
et al. (2001), menyatakan bahwa genus
Eretmocerus merupakan parasitoid B.
tabaci yang telah banyak digunakan
untuk pengendalian hayati B. tabaci.
Parasitoid Eretmocerus sp. umumnya
memarasit nimfa B. tabaci instar
ke-2 sampai ke-4, namun preferensinya
lebih tinggi pada nimfa instar ke-2
(Gerling et al. 2001).
Gambar 1. Perkembangan tingkat parasitisasi parasitoid Eretmocerus sp. pada
nimfa B. tabaci selama pertumbuhan tanaman cabai merah pada
musim kemarau Juni sampai Oktober tahun 2009 di Desa
Harjobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, DIY
J. Entomol. Indon., September 2011, Vol. 8, No. 2, 96-109
104
Parasitoid Eretmocerus sp. dapat
menyelesaikan siklus hidupnya sampai
fase imago pada satu nimfa B. tabaci
atau bersifat soliter. Seperti yang dikatakan
oleh Driesche & Bellows
(1996) dan Hajek (2004), suatu parasitoid
yang perkembangan hidupnya
terjadi pada satu tubuh inang disebut
parasitoid soliter dan bersifat endoparasitoid.
Selanjutnya Zolnerowich &
Rose (2008) menyatakan bahwa parasitoid
Eretmocerus sp. merupakan parasitoid
soliter dan endoparasitoid yang
memarasit nimfa B. tabaci instar kedua
dan imago parasitoid muncul dari
nimfa instar ke-4 yang telah mati.
Genus Eretmocerus memiliki 65
spesies dan semua spesies diketahui
sebagai parasitoid primer kutu kebul
dan banyak diantaranya yang belum
diketahui spesiesnya memarasit B.
tabaci (Zolnerowich & Rose 2008).
Eretmocerus eremicus diketahui efektif
menekan populasi B. tabaci pada
tanaman tomat, cabai, dan melon
(Gerling et al. 2001; Bellamy et al.
2004). Eretmocerus mundus diketahui
dapat memarasit nimfa B. tabaci pada
tanaman cabai, melon, dan lada di
Argentina (López & Andorno 2009).
Kelimpahan Spesies Predator dan
Parasitoid
Serangga-serangga predator yang
berhasil dikumpulkan dari pertanaman
cabai merah telah diidentifikasi berdasarkan
publikasi Gerling et al.
(2001). Serangga predator tersebut terdiri
atas spesies-spesies dari ordo Coleoptera
famili Coccinellidae yaitu
Harmonia octomaculata, Menochilus
sexmaculata, Scymnus sp., Micraspis
inops, dan Coccinella sp., serta famili
Staphylinidae yaitu Paederus fuscipes;
ordo Hemiptera famili Anthocoridae
yaitu Orius sp.; ordo Diptera famili
Syrphidae; dan ordo Areneae yaitu
Linyphiidae. Spesies predator dari B.
tabaci dengan kelimpahan yang paling
tinggi adalah M. sexmaculata dan P.
fuscipes dengan nilai kelimpahan
berturut-turut yaitu 21,2% dan 20,7%;
sedangkan spesies predator dengan
nilai kelimpahan paling rendah adalah
Orius sp. (2,1%) (Gambar 2). Predator
M. sexmaculata merupakan predator
yang sangat potensial dalam pengendalian
hayati hama tanaman seperti B.
tabaci. Dilaporkan oleh Muharam &
Setiawati (2007) bahwa predator M.
sexmaculata mampu memangsa B.
tabaci sebanyak 51,5 ekor selama
periode 24 jam. Selanjutnya, Hidayat
et al. (2009) menyatakan bahwa
berdasarkan distribusi, kelimpahan dan
uji efektivitas, diketahui bahwa spesies
predator yang berpotensi sebagai agens
hayati B. tabaci adalah M. sexmaculata
dan M. inops.
Kelompok fungsional parasitoid
yang berhasil diperoleh dari pertanaman
cabai merah di Pakem, Sleman,
DIY terdiri dari ordo Hymenoptera
famili Aphelinidae yaitu Encarsia sp.
dan Eretmocerus sp. Kelimpahan spesies
parasitoid Eretmocerus sp.
(89,9%) lebih tinggi dibandingkan
Hendrival et al.,: Keanekaragaman dan Kelimpahan Musuh Alami Bemisia tabaci
105
Encarsia sp. (13,1%) (Gambar 2).
Parasitoid Eretmocerus sp. yang lebih
dominan dibandingkan Encarsia sp. di
pertanaman cabai merah diduga terjadi
karena adanya faktor kompetisi terhadap
inang dari kedua parasitoid
tersebut. Parasitoid Eretmocerus sp.
bersifat oligofag yang dapat memarasit
spesies kutu kebul lainnya (Evans &
Serra 2002), sehingga menyebabkan
parasitoid Eretmocerus sp. mudah
dijumpai pada daerah dengan populasi
B. tabaci yang melimpah. Parasitoid
Encarsia sp. diketahui lebih banyak
memarasit kutu kebul Trialeurodes
vaporariorum, Aleurocanthus woglumi,
dan Dialeurodes citri dibandingkan
dengan B. tabaci (Evans 1997; Gerling
et al. 2001), sehingga kelimpahan
parasitoid Eretmocerus sp. lebih tinggi
dibandingkan Encarsia sp. di pertanaman
cabai merah.
Keanekaragaman musuh alami
perlu dipertahankan melalui perlakuan
konservasi sehingga pemanfaatan musuh
alami dapat berlangsung secara
berkelanjutan pada waktu sekarang dan
waktu yang akan datang. Driesche &
Bellows (1996) menjelaskan kegiatan
konservasi musuh alami meliputi (1)
penggunaan pestisida secara terbatas
dan selektif, (2) melestarikan spesies-
Gambar 2 Persentase kelimpahan spesies predator (A) dan parasitoid (B) B.
tabaci dari empat metode pengumpulan serangga yaitu metode jaring
ayun, nampan kuning, pengamatan langsung pada tajuk tanaman, dan
pengumpulan nimfa-nimfa B. tabaci pada tanaman cabai merah
selama musim kemarau Juni sampai Oktober tahun 2009 di Desa
Harjobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, DIY.
J. Entomol. Indon., September 2011, Vol. 8, No. 2, 96-109
106
spesies gulma yang mendukung inang
parasitoid atau mangsa alternatif predator,
(3) memfasilitasi perpindahan
musuh alami, dan (4) memodifikasi
sistem budidaya tanaman. Konservasi
musuh alami pada area yang berdekatan
dapat meningkatkan keberadaan
parasitoid dan predator yang dapat
membantu menurunkan populasi B.
tabaci dalam jangka panjang. Pengendalian
hayati B. tabaci dengan parasitoid
dan predator merupakan kunci
strategis potensial yang sebagian besar
belum direalisasikan pada tanaman
budidaya (Naranjo 2001).
KESIMPULAN
Pengendalian hayati B. tabaci di
pertanaman cabai merah mempersyaratkan
faktor keanekaragaman parasitoid
dan predator untuk mencapai
kestabilan komunitas. Seranggaserangga
predator yang bersifat oligofag
seperti famili Coccinellidae (H.
octomaculata, M. sexmaculata, Scymnus
sp., M. inops, dan Coccinella sp.)
dan Syrphidae serta bersifat generalis
seperti famili Anthocoridae (Orius sp.)
diperlukan untuk mengendalikan B.
tabaci yang berasosiasi dengan tanaman
cabai merah. Predator tersebut
diharapkan dapat berperan sebagai
pengatur populasi hama sehingga tidak
terjadi peledakan populasi hama.
Parasitoid Eretmocerus sp. merupakan
parasitoid kutu kebul yang berpotensi
untuk mengendalikan B. tabaci di
pertanaman cabai merah.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini terlaksana berkat
dukungan dana dari Project ACIARAVRDC
Chilli IDM tahun 2009
melalui Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat,
M.Sc, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ucapan terima kasih disampaikan
kepada Ir. Bagus Kukuh Udiarto, M.P.,
Pak Ngadimin, dan Pak Mardi yang
telah membantu pelaksanaan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Bellamy DE. Asplen MK, & Byrne
DN. 2004. Impact of Eretmocerus
eremicus (Hymenoptera:
Aphelinidae) on open-field Bemisia
tabaci (Hemiptera: Aleyrodidae)
populations. Biol. Control
29:227-234.
Bugg RL, Colfer RG, Chaney WE,
Smith HA, & CannonJ. 2008.
Flower flies (Syrphidae) and
other biological control agents
for aphids in vegetable crops.
ARN Publication 8285:1-25.
Byrne DN. & Bellows Jr. TS. 1991.
Whitefly biology. Ann. Rev.
Entomol. 36:431-457.
Castineiras A. 1995. Natural enemies
of Bemisia tabaci (Homoptera:
Aleyrodidae) in Cuba. Florida
Entomologist 78(3):538-540.
Cohen AC. & Brummett DL. 1997.
The non-abundant nutrient
(NAN) concept as a determinant
of predator-prey fitness. Entomophaga
42:85-91.
De Barro PJ. 1995. Bemisia tabaci biotypes:
a review of itsbiology,
distribution and control. ComHendrival
et al.,: Keanekaragaman dan Kelimpahan Musuh Alami Bemisia tabaci
107
monwealth Scientificand Industrial
Research Organization
Technical Paper 33.
Delatte H, Reynaud B, Granier M,
Thornary L, Lett JM, Goldbach,
R, & Peterschmitt M. 2005. A
new silverleaf-inducing biotype
Ms of Bemisia tabaci (Hemiptera:
Aleyrodidae) indigenous to
the islands of the southwest
Indian Ocean. Bull. Entomol. Res.
95:29-35.
Driesche RG van. & Bellows Jr.TS.
1996. Biological Control. London:
Chapman & Hall.
Evans GA. & Serra CA. 2002.
Parasitoids associated with
whiteflies (Homoptera: Aleyrodidae)
in Hispaniola and
descriptions of two new species
of Encarsia (Hymenoptera:
Aphelinidae). J. Hym. Res.
11(2):197-212.
Evans GA. 1997. A new Encarsia
(Hymenoptera: Aphelinidae)
species reared from the Bemisia
tabaci complex (Homoptera:
Aleyrodidae). Florida Entomologist
80(1):24-27.
Evans GA. 2009. Key to parasitoid
genera associated with whiteflies
(Aleyrodidae). http://www.sel.
barc.usda.gov:8080/1WF/couplet
1.html [diakses 14 Desember
2009].
Faria M. & Wraight SP. 2001. Biologi
cal control of Bemisia tabaci
with fungi. Crop Prot. 20:767-
778.
Frohlich DR, Torres-Jerez I, Bedford
ID, Markham PG, & Brown JK.
1999. A phylogeographical analysis
of the Bemisia tabaci
species complex based on mitochondrial
DNA markers. Mol.
Ecol. 8:1683-1691.
Gerling D, Alomar O, & Arno J. 2001.
Biological control of Bemisia
tabaci using predators and parasitoids.
Crop Prot. 20:779-799.
Ghahari H, Hayat R, Tabari M, &
Ostovan H. 2008. Hover flies
(Diptera: Syrphidae) from rice
fields and around grasslands of
northern Iran. Mun. Ent. Zool.
3(3):275-284.
Gindin G, Geschtovt NU, Raccah B, &
Barash I. 2000. Pathogenicity of
Verticillium lecanii to different
develop-mental stages of the silverleaf
whitefly, Bemisia argentifolii.
Phytoparasitica 28(3):
229-239.
Goulet H. & Huber JT, editor. 1993.
Hymenoptera of the World: An
Identification Guide to Families.
Canada: Canada Communication
Group Publishing.
Hajek AN. 2004. Natural Enemies: An
Introduction to Biological Control.
London: Cambridge University
Press.
Hidayat P, Udiarto BK, Setiawati W,
& Murtiningsih RRR. 2009.
Strategi pemanfaatan musuh
alami dalam pengendalian
Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera:
Aleyrodidae) sebagai
vektor virus kuning pada pertanaman
cabai merah [laporan
penelitian KKP3T]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Hoddle MS, van Driesche RG, Sanderson
JP. & Minkenberg OPJM.
1998. Biological control of
Bemisia argentifolii (Hemiptera:
J. Entomol. Indon., September 2011, Vol. 8, No. 2, 96-109
108
Aleyrodidae) on poinsettia with
inundative releases of Eretmocerus
eremicus (Hymenoptera:
Aphelinidae): do release rates
affect parasitism? Bull. Entomol.
Res. 88:47-58.
Jones D. 2003. Plant viruses transmitted
by whiteflies. Eurp. J.
Plant Pathol. 109:197-221.
Kirk AA, Lacey LA, & Goolsby JA.
2001. Classical biological control
of Bemisia and successful
integration of management strategies
in the United States. in:
Harris, K.F., O.P. Smith, & J.E.
Duffus (ed.), Virus-Insect-Plant
Interactions. London: Academic
Press. p 309-329.
Krebs CJ. 1999. Ecological Metodology.
2rd ed. New York: An
Imprint of Addison Wesley
Longman, Inc.
López SN. & Andorno AV. 2009.
Evaluation of the local population
of Eretmocerus mundus
(Hymenoptera: Aphelinidae) for
biological control of Bemisia
tabaci biotype B (Hemiptera:
Aleyrodidae) in greenhouse peppers
in Argentina. Biol. Control
50:317-323.
Magurran AE. 1996. Ecologycal
Diversity and Its Measurement.
London: Chapman and Hall.
Muharam A & Setiawati W. 2007.
Teknik perbanyakan masal
predator Menochilus sexmaculatus
pengendali serangga Bemisia
tabaci vector virus kuning
pada tanaman cabai. J. Hort.
17(4):365-373.
Naranjo SE. 2001. Conservation andevaluation
of natural enemies in
IPM systems for Bemisia tabaci.
Crop Prot.. 20:835-852.
Naranjo SE, Ellsworth PC, Chu CC, &
Henneberry TJ. 2002. Conservation
of predatory arthropods in
cotton: role of action thresholds
for Bemisia tabaci (Homoptera:
Aleyrodidae). J. Econ. Entomol.
95(4):682-691.
Naranjo SE & Ellsworth PC. 2009.
The contribution of conservation
biological control to integrated
control of Bemisia tabaci in
cotton. Biol. Control 51:458-470.
Norris RF & Kogan M. 2005. Ecology
of interaction between weeds and
arthtropods. Ann. Rev. Entomol.
50:479-503.
Setiawati W, Udiarto BK & Soetiarso
TA. 2007. Selektivitas beberapa
insektisida terhadap hama kutu
kebul (Bemisia tabaci Genn.)
dan predator Menochilus sexmacula
tus Fabr. J. Hort. 17(2):
168-174.
Shepard BM, Barrion AT & Litsinger J.
A. 1995. Serangga, Laba-laba,
dan Patogen yang Membantu.
Untung K, Wirjosuhardjo S,
penerjemah. Jakarta: Program
Nasional Pengendalian Hama
Terpadu, Bappenas. Terjemahan
dari: Helpful Insects, Spiders,
and Pathogens.
Smith JW Jr., Wiedenmann RN., &
Gilstrap FE. 1997. Challenges
and opportunities for biological
control in Ephemeral crop habitats:
an Overview. Biol. Control
10: 2–3.
Sudiono & Yasin N. 2006. Karakteristik
kutu kebul (Bemisia tabaci)
sebagai vektor virus gemini
Hendrival et al.,: Keanekaragaman dan Kelimpahan Musuh Alami Bemisia tabaci
109
dengan teknik PCR-RAPD. J.
HPT. Tropika 6(2):113-119.
Sugiyama K. 2005. Management of
whitefly for commercial tomato
production in greenhouses in
Shizuoka, Japan. in: Ku, T.Y. &
Wang C.L, editor. Proc. of the
International Seminar on White
fly Management and Control
Strategy. Taichung, Taiwan, Oct
3-8, 2005. Taichung, Taiwan. p
81–91.
Tsai JH. Wang K. 1996. Development
and reproduction of Bemisia
argentifolii (Homoptera: Aleyrodidae)
on five host plant. J.
Environ. Entomol. 25:810-816.
Zolnerowich G, Rose M. 2008. The
genus Eretmocerus. in: Gould J,
Hoelmer K. & Goolsby J, (ed.).
Classical Biological Control of
Bemisia tabaci in the United
States-A Review of Interagency
Research and Implementation.
Netherlands: Springer. p 89-109.
_____________________

Senin, 26 Maret 2012

Tata nama biologi



Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Tata nama dalam biologi telah mengalami perubahan berkali-kali semenjak manusia mencatat berbagai jenis organisme. Plinius dari masa Kekaisaran Romawi telah menulis sejumlah nama tumbuhan dan hewan dalam ensiklopedia yang dibuatnya dalam bahasa Latin. Sistem penamaan organisme selanjutnya selalu menggunakan bahasa Latin dalam tradisi pencatatan Eropa. Hingga sekarang sukar dijumpai sistem penulisan nama organisme yang dipakai dalam tradisi Arab atau Tiongkok. Kemungkinan dalam tradisi ini penulisan nama menggunakan nama setempat (nama lokal). Keadaan berubah setelah cara penamaan yang lebih sistematik diperkenalkan oleh Carolus Linnaeus dalam kitab yang ditulisnya, Systema Naturae ("Sistematika Alamiah").
[sunting] Tata nama binomial     
Tata nama binomial (binomial berarti 'dua nama') merupakan aturan penamaan baku bagi semua organisme (makhluk hidup) yang terdiri dari dua kata dari sistem taksonomi (biologi), dengan mengambil nama genus dan nama spesies. Nama yang dipakai adalah nama baku yang diberikan dalam bahasa Latin atau bahasa lain yang dilatinkan. Aturan ini pada awalnya diterapkan untuk fungi, tumbuhan dan hewan oleh penyusunnya (Carolus Linnaeus), namun kemudian segera diterapkan untuk bakteri pula. Sebutan yang disepakati untuk nama ini adalah 'nama ilmiah' (scientific name). Awam seringkali menyebutnya sebagai "nama latin" meskipun istilah ini tidak tepat sepenuhnya, karena sebagian besar nama yang diberikan bukan istilah asli dalam bahasa latin melainkan nama yang diberikan oleh orang yang pertama kali memberi pertelaan atau deskripsi (disebut deskriptor) lalu dilatinkan.
Penamaan organisme pada saat ini diatur dalam Peraturan Internasional bagi Tata Nama Botani (ICBN) bagi tumbuhan, beberapa alga, fungi, dan lumut kerak, serta fosil tumbuhan; Peraturan Internasional bagi Tata Nama Zoologi (ICZN) bagi hewan dan fosil hewan; dan Peraturan Internasional bagi Tata Nama Prokariota (ICNP). Aturan penamaan dalam biologi, khususnya tumbuhan, tidak perlu dikacaukan dengan aturan lain yang berlaku bagi tanaman budidaya (Peraturan Internasional bagi Tata Nama Tanaman Budidaya, ICNCP).
[sunting] Aturan penulisan
  • Aturan penulisan dalam tatanama binomial selalu menempatkan nama ("epitet" dari epithet) genus di awal dan nama ("epitet") spesies mengikutinya.
  • Nama genus SELALU diawali dengan huruf kapital (huruf besar, uppercase) dan nama spesies SELALU diawali dengan huruf biasa (huruf kecil, lowercase).
  • Penulisan nama ini tidak mengikuti tipografi yang menyertainya (artinya, suatu teks yang semuanya menggunakan huruf kapital/balok, misalnya pada judul suatu naskah, tidak menjadikan penulisan nama ilmiah menjadi huruf kapital semua) kecuali untuk hal berikut:
1. Pada teks dengan huruf tegak (huruf latin), nama ilmiah ditulis dengan huruf miring (huruf italik), dan sebaliknya. Contoh: Glycine soja, Pavo muticus. Perlu diperhatikan bahwa cara penulisan ini adalah konvensi yang berlaku saat ini sejak awal abad ke-20. Sebelumnya, seperti yang dilakukan pula oleh Carolus Linnaeus, nama atau epitet spesies diawali dengan huruf besar jika diambil dari nama orang atau tempat.
2. Pada teks tulisan tangan, nama ilmiah diberi garis bawah yang terpisah untuk nama genus dan nama spesies.
  • Nama lengkap (untuk hewan) atau singkatan (untuk tumbuhan) dari deskriptor boleh diberikan di belakang nama spesies, dan ditulis dengan huruf tegak (latin) atau tanpa garis bawah (jika tulisan tangan). Jika suatu spesies digolongkan dalam genus yang berbeda dari yang berlaku sekarang, nama deskriptor ditulis dalam tanda kurung. Contoh: Glycine max Merr., Passer domesticus (Linnaeus, 1978) — yang terakhir semula dimasukkan dalam genus Fringilla, sehingga diberi tanda kurung (parentesis).
  • Pada penulisan teks yang menyertakan nama umum/trivial, nama ilmiah biasanya menyusul dan diletakkan dalam tanda kurung.
Contoh pada suatu judul: "PENGUJIAN DAYA TAHAN KEDELAI (Glycine max Merr.) TERHADAP BEBERAPA TINGKAT SALINITAS". (Penjelasan: Merr. adalah singkatan dari deskriptor (dalam contoh ini E.D. Merrill) yang hasil karyanya diakui untuk menggambarkan Glycine max. Nama Glycine max diberikan dalam judul karena ada spesies lain, Glycine soja, yang juga disebut kedelai.).
  • Nama ilmiah ditulis lengkap apabila disebutkan pertama kali. Penyebutan selanjutnya cukup dengan mengambil huruf awal nama genus dan diberi titik lalu nama spesies secara lengkap. Contoh: Tumbuhan dengan bunga terbesar dapat ditemukan di hutan-hutan Bengkulu, yang dikenal sebagai padma raksasa (Rafflesia arnoldii). Di Pulau Jawa ditemukan pula kerabatnya, yang dikenal sebagai R. patma, dengan ukuran bunga yang lebih kecil.
Sebutan E. coli atau T. rex berasal dari konvensi ini.
  • Singkatan "sp." (zoologi) atau "spec." (botani) digunakan jika nama spesies tidak dapat atau tidak perlu dijelaskan. Singkatan "spp." (zoologi dan botani) merupakan bentuk jamak. Contoh: Canis sp., berarti satu jenis dari genus Canis; Adiantum spp., berarti jenis-jenis Adiantum.
  • Sering dikacaukan dengan singkatan sebelumnya adalah "ssp." (zoologi) atau "subsp." (botani) yang menunjukkan subspesies yang belum diidentifikasi. Singkatan ini berarti "subspesies", dan bentuk jamaknya "sspp." atau "subspp."
  • Singkatan "cf." (dari confer) dipakai jika identifikasi nama belum pasti. Contoh: Corvus cf. splendens berarti "sejenis burung mirip dengan gagak (Corvus splendens) tapi belum dipastikan sama dengan spesies ini".
  • Penamaan fungi mengikuti penamaan tumbuhan.
  • Tatanama binomial dikenal pula sebagai "Sistem Klasifikasi Binomial".

Sabtu, 24 Maret 2012


BUDIDAYA DAN KEUNGGULAN PADI ORGANIK
METODE SRI
 (System of Rice Intensification)

Budidaya padi organik metode SRI mengutamakan potensi lokal dan disebut pertanian ramah lingkungan, akan sangat mendukung terhadap pemulihan kesehatan tanah dan kesehatan pengguna produknya.Pertanian organik pada prinsipnya menitik beratkan prinsip daur ulang hara melalui panen dengan cara mengembalikan sebagian biomasa ke dalam tanah, dan konservasi air, mampu memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode konvensional.

BUDIDAYA DAN KEUNGGULAN PADI ORGANIK
METODE SRI (System of Rice Intensification)
1. 1novasi metode SRI
SRI adalah teknik budidaya padi yang mampu meningkatkan produktifitas padi dengan cara mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air dan unsur hara, terbukti telah berhasil meningkatkan produktifitas padi sebesar 50% , bahkan di beberapa tempat mencapai lebih dari 100%.
Metode ini pertama kali ditemukan secara tidak disengaja di Madagaskar antara tahun 1983 -84 oleh Fr. Henri de Laulanie, SJ, seorang Pastor Jesuit asal Prancis yang lebih dari 30 tahun hidup bersama petani-petani di sana. Oleh penemunya, metododologi ini selanjutnya dalam bahasa Prancis dinamakan Ie Systme de Riziculture Intensive disingkat SRI. Dalam bahasa Inggris populer dengan nama System of Rice Intensification disingkat SRI.
Tahun 1990 dibentuk Association Tefy Saina (ATS), sebuah LSM Malagasy untuk memperkenalkan SRI. Empat tahun kemudian, Cornell International Institution for Food, Agriculture and Development(CIIFAD), mulai bekerja sama dengan Tefy Saina untuk memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafana National Park di Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for International Development.
SRI telah diuji di Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri Langka, dan Bangladesh dengan hasil yang positif.SRI menjadi terkenal di dunia melalui upaya dari Norman Uphoff (Director CIIFAD). Pada tahun 1987, Uphoff mengadakan presentase SRI di Indonesia yang merupakan kesempatan pertama SRI dilaksanakan di luar Madagaskar.
Hasil metode SRI sangat memuaskan. Di Madagaskar, pada beberapa tanah tak subur yang produksi normalnya 2 ton/ha, petani yang menggunakan SRI memperoleh hasil panen lebih dari 8 ton/ha,beberapa petani memperoleh 10 – 15 ton/ha, bahkan ada yang mencapai 20 ton/ha. Metode SRI minimal menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan metode yang biasa dipakai petani.
 Hanya saja diperlukan pikiran yang terbuka untuk menerima metode baru dan kemauan untuk bereksperimen.Dalam SRI tanaman diperlakukan sebagai organisme hidup sebagaimana mestinya, bukan diperlakukan seperti mesin yang dapat dimanipulasi. Semua unsur potensi dalam tanaman padidikembangkan dengan cara memberikan kondisi yang sesuai dengan pertumbuhannya.

2 . Prinsip-prinsip budidaya padi organik metode SRI
1.      Tanaman bibit muda berusia kurang dari 12 hari setelah semai (hss) ketika bibit masih
berdaun 2 helai
2.      Bibit ditanam satu pohon perlubang dengan jarak 30 x 30, 35 x 35 atau lebih jarang
3.      Pindah tanam harus sesegera mungkin (kurang dari 30 menit) dan harus hati-hati agar akar tidak putus dan ditanam dangkal
4.      Pemberian air maksimal 2 cm (macak-macak) dan periode tertentu dikeringkan sampai pecah(Irigasi berselang/terputus)
5.      Penyiangan sejak awal sekitar 10 hari dan diulang 2-3 kali dengan interval 10 hari
6.      Sedapat mungkin menggunakan pupuk organik (kompos atau pupuk hijau)
3. Keunggulan metode SRI
1.      Tanaman hemat air, Selama pertumbuhan dari mulai tanam sampai panen memberikan air
2.      max 2 cm, paling baik macak-macak sekitar 5 mm dan ada periode pengeringan sampai tanah retak ( Irigasi terputus)
3.      Hemat biaya, hanya butuh benih 5 kg/ha. Tidak memerlukan biaya pencabutan bibit, tidak memerlukan biaya pindah bibit, tenaga tanam kurang dll.
4.      Hemat waktu, ditanam bibit muda 5 - 12 hss, dan waktu panen akan lebih awal Produksi meningkat, di beberapa tempat mencapai 11 ton/ha.
5.      Ramah lingkungan, tidak menggunaan bahan kimia dan digantikan dengan mempergunakan pupuk organik (kompos, kandang dan Mikro-oragisme Lokal), begitu juga penggunaan pestisida.
4. Teknik Budidaya Padi Organik metode SRI
4.1. Persiapan benih
Benih sebelum disemai diuji dalam larutan air garam. Larutan air garam yang cukup untuk menguji benih adalah larutan yang apabila dimasukkan telur, maka telur akan terapung.
Benih yang baik untuk dijadikan benih adalah benih yang tenggelam dalam larutan tersebut.Kemudian benih telah diuji direndam dalam air biasa selama 24 jam kemudian ditiriskan
dan diperam 2 hari, kemudian disemaikan pada media tanah dan pupuk organik (1:1) di dalam wadah segi empat ukuran 20 x 20 cm (pipiti). Selama 7 hari. Setelah umur 7-10 hari benih padi sudah siap ditanam.
4.2. Pengolahan tanah
Pengolahan tanah Untuk Tanam padi metode SRI tidak berbeda dengan cara pengolahan
tanah untuk tanam padi cara konvesional yaitu dilakukan untuk mendapatkan struktur tanah yang lebih baik bagi tanaman, terhidar dari gulma. Pengolahan dilakukan dua minggu sebelum tanam dengan menggunakan traktor tangan, sampai terbentuk struktur lumpur.Permukaan tanah diratakan untuk mempermudah mengontrol dan mengendalikan air.
4.3. Perlakuan pemupukan
Pemberian pupuk pada SRI diarahkan kepada perbaikan kesehatan tanah dan penambahan unsur hara yang berkurang setelah dilakukan pemanenan. Kebutuhan pupuk organik pertama setelah menggunakan sistem konvensional adalah 10 ton per hektar dan dapat diberikan
sampai 2 musim taman. Setelah kelihatan kondisi tanah membaik maka pupuk organik bias berkurang disesuaikan dengan kebutuhan. Pemberian pupuk organik dilakukan pada tahap pengolahan tanah kedua agar pupuk bisa menyatu dengan tanah.
4.4.Pemeliharaan
Sistem tanam metode SRI tidak membutuhkan genangan air yang terus menerus, cukup
dengan kondisi tanah yang basah. Penggenangan dilakukan hanya untuk mempermudah pemeliharan. Pada prakteknya pengelolaan air pada sistem padi organik dapat dilakukan sebagai berikut;
a)      pada umur 1-10 HST tanaman padi digenangi dengan ketinggian air ratarata 1cm, kemudian pada umur 10 hari dilakukan penyiangan. Setelah dilakukan penyiangan tanaman tidak digenangi. Untuk perlakuan yang masih membutuhkan penyiangan berikutnya, maka dua hari menjelang penyiangan tanaman digenang.
b)      Pada saat tanaman berbunga, tanaman digenang dan setelah padi matang susu tanaman tidak digenangi kembali sampai panen.
c)      Untuk mencegah hama dan penyakit pada SRI tidak digunakan bahan kimia, tetapi dilakukan pencengahan dan apabila terjadi gangguan hama/penyakit digunakan pestisida
nabati dan atau digunakan pengendalian secara fisik dan mekanik
5.Perbedaan Hasil Cara SRI dengan Konvensional
Kebutuhan pupuk organik dan pestisida untuk padi organik metode SRI dapat diperoleh dengan cara mencari dan membuatnya sendiri. Pembuatan kompos sebagai pupuk dilakukan dengan memanfaatkan kotoran hewan, sisa tumbuhan dan sampah rumah tangga dengan menggunakan aktifator MOL(Mikro-organisme Lokal) buatan sendiri, begitu pula dengan pestisida dicari dari tumbuhan behasiat sebagai pengendali hama. Dengan demikian biaya yang keluarkan menjadi lebih efisien dan murah.
Penggunaan pupuk organik dari musim pertama ke musim berikutnya mengalami penurunan rata-rata 25% dari musim sebelumnya. Sedangkan pada metode konvensional pemberian pupuk anorganik dari musim ke musim cenderung meningkat, kondisi ini akan lebih sulit bagi petani konvensional untuk dapat meningkatkan produsi apalagi bila dihadapkan pada kelangkaan pupuk dikala musim tanam tiba.
Pemupukan dengan bahan organik dapat memperbaiki kondisi tanah baik fisik, kimia maupun biologi tanah, sehingga pengolahan tanah untuk metode SRI menjadi lebih mudah dan murah, sedangkan pengolahan tanah yang menggunakan pupuk anorganik terus menerus kondisi tanah semakin kehilangan bahan organik dan kondisi tanah semakin berat, mengakibatkan pengolahan semakin sulit dan biaya akan semakin mahal
Hasil panen pada metode SRI pada musim pertama tidak jauh berbeda dengan hasil sebelumnya(metode konvensional) dan terus meningkat pada musim berikutnya sejalan dengan meningkatnyabahan organik dan kesehatan tanah.
Beras organik yang dihasilkan dari sistem tanam di musim pertama memiliki harga yang sama denganberas dari sistem tanam konvesional, harga ini didasarkan atas dugaan bahwa beras tersebut belum tergolong organik, karena pada lahan tersebut masih ada pupuk kimia yang tersisa dari musim tanam sebelumnya. Dan untuk musim berikutnya dengan menggunakan metode SRI secara berturut-turut,maka sampai musim ke 3 akan diperoleh beras organik dan akan memiki harga yang lebih tinggi dari beras padi dari sistem konvensional.
6. Manfaat Sistem SRI
   Secara umum manfaat dari budidaya metode SRI adalah sebagai berikut
a)      Hemat air (tidak digenang), Kebutuhan air hanya 20-30% dari kebutuhan air untuk cara
Konvensional.
b)      Memulihkan kesehatan dan kesuburan tanah, serta mewujudkan keseimbangan ekologi tanah.
c)      Membentuk petani mandiri yang mampu meneliti dan menjadi ahli di lahannya sendiri. Tidak tergantung pada pupuk dan pertisida kimia buatan pabrik yang semakin mahal dan terkadang langka
d)      Membuka lapangan kerja dipedesaan, mengurangi pengangguran dan meningkatkan pendapatan keluarga petani.
e)      Menghasilkan produksi beras yang sehat rendemen tinggi, serta tidak mengandung residu
Kimia.
f)        Mewariskan tanah yang sehat untuk generasi mendatang.

7. KESIMPULAN
Metode SRI menguntungkan untuk petani, karena produksi meningkat sampai 10 ton/ha, selain itu karena tidak mempergunakan pupuk dan pestisida kimia, tanah menjadi gembur, mikroorganisme tanah meningkat jadi ramah lingkungan.Untuk mempercepat penyebaran metode SRI perlu dukungan dengan kebijakan pemerintah pusat maupun daerah.







Jumat, 23 Maret 2012

data konsumsi perkapita



  1. RATA-RATA KONSUMSI PERKAPITA
Sudah hampir 30 tahun kegiatan penganekaragaman konsumsi pangan dijalankan di tanah air, namun hasilnya belum seperti yang diharapkan, demikian Menteri Pertanian Suswono.
Konsumsi beras masyarakat Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 139 kg per kapita per tahun atau merupakan tertinggi di dunia.Konsumsi beras negara lainnya di Asia, seperti Jepang 60 kg dan Malaysia 80 kg per kapita per tahun.
Dari tahun ke tahun konsumsi beras per kapita di Indonesia menunjukkan peningkatan, seperti dilaporkan BPS, pada 2002 rata-rata konsumsi beras mencapai 115,5 kilogram.Pada 2003 turun menjadi 109,7 kilogram, karena masyarakat mulai mengonsumsi pangan dengan bahan yang beragam.
Selanjutnya pada tahun 2004 rata-rata konsumsi beras naik drastis menjadi 138,81 kilogram, dan sejak 2005 mencapai  139,15 kilogram per kapita per tahun.Peningkatan konsumsi  beras per kapita tersebut tentu saja berdampak pada semakin tingginya kebutuhan beras dalam negeri sehingga menuntut penyediaan yang semakin meningkat pula.
Menurut BPS, produksi padi secara nasional selama lima tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang cukup berarti yakni dari 54,08 juta ton gabah kering giling pada 2004 menjadi 60,32 juta ton tahun 2008 dan pada 2009 ditargetkan 63,84 juta ton.Sementara itu kebutuhan beras untuk konsumsi penduduk sebesar 30,57 juta ton jika asumsi penduduk Indonesia 219 juta jiwa dengan konsumsi per kapita 139,15 kg per tahun.
Meskipun produksi beras dalam negeri hingga saat ini masih mampu mencukupi kebutuhan penduduk, namun bukan berarti suatu saat tidak akan terjadi kekurangan, sehingga Indonesia harus mengimpor beras sebagaimana terjadi pada 2006 dan 2007.Data BPS menyebutkan, pada 2006 impor beras Indonesia hampir mencapai 440 ribu ton kemudian pada 2007 menjadi 1,3 juta ton.Pada 2008 turun ke angka 289 ribu ton.
Tingginya konsumsi beras tak lepas dari sikap masyarakat yang semakin menjadikan komoditas tersebut sebagai pangan utama menggeser pangan lokal yang selama ini menjadi makanan pokok mereka.
  1. BERAPA PERSEN PENDUDUK INDONESIA YANG BISA MEMPEROLEH PENDIDIKAN TINGGI

Pada Februari 2011, jumlah penduduk yang bekerja menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan untuk semua golongan pendidikan mengalami kenaikan jika dibandingkan keadaan Februari 2010, kecuali untuk jenjang pendidikan SD ke bawah turun sebesar 190 ribu orang (0,34 persen).Pada Februari 2011, pekerja pada jenjang pendidikan SD ke bawah masih mendominasi yaitu sebesar 55,1 juta orang (49,53 persen), sedangkan jumlah pekerja dengan pendidikan tinggi masih relative kecil. Pekerja dengan pendidikan Diploma hanya sebesar 3,3 juta orang (2,98 persen) dan pekerja dengan pendidikan Sarjana hanya sebesar 5,5 juta orang (4,98 persen)
3. PEMBAGIAN TENAGA KERJA MENURUT SECTOR
Jika dibandingkan dengan keadaan Agustus 2010, jumlah penduduk yang bekerja pada Februari 2011 mengalami kenaikan terutama di Sektor Jasa Kemasyarakatan sebesar 1,1 juta orang (6,70 persen) dan Sektor Pertanian sebesar 980 ribu orang (2,36 persen). Sedangkan sektor-sektor yang mengalami penurunan adalah Sektor Industri sebesar 110 ribu orang (0,80 persen) dan Sektor Transportasi sekitar 40ribu orang (0,71 persen). Jika dibandingkan dengan Februari 2010 hampir semua sektor mengalami kenaikan jumlah pekerja, kecuali Sektor Pertanian dan Sektor Transportasi, masing-masing mengalami penurunan jumlah pekerja sebesar 360 ribu orang (0,84 persen) dan 240 ribu orang (4,12 persen). Sektor Pertanian, Perdagangan, Jasa Kemasyarakatan dan Sektor Industri secara berurutan menjadi penampung terbesar tenaga kerja pada bulan Februari 2011.


4. KONTRIBUSI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP EKSPOR
Peranan dan perkembangan ekspor nonmigas Indonesia menurut sektor untuk Januari tahun
2012 dibanding tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 4 dan Grafik 2. Ekspor produk industri meningkat 2,08 persen dan produk pertambangan dan lainnya meningkat 14,82 persen, sementara ekspor produk pertanian turun 1,82 persen.Dilihat dari kontribusinya terhadap ekspor keseluruhan Januari 2012, kontribusi ekspor produk industri adalah sebesar 61,21 persen sedangkan kontribusi ekspor produk pertanian adalah sebesar 2,48 persen, dan kontribusi ekspor produk pertambangan dan lainnya adalah sebesar 17,11 persen, sementara kontribusi ekspor migas adalah sebesar 19,20 persen.


pohon industri nangka


BAB I
LATAR BELAKANG

Mengembangkan usaha dalam bidang pangan, baik berupa produk mentah,
bahan setengah jadi maupun produk jadi merupakan kegiatan yang memiliki prospek sangat baik. Hal ini disebabkan karena selama manusia hidup akan selalu memerlukan pangan untuk kebutuhan hidupnya. Jadi usaha dalam bidang pangan orientasinya bisa seumur hidup.
Permasalahannya adalah dalam mengembangkan usaha bidang pangan ini
banyak kendala yang dihadapi, mulai dari ketersediaan bahan baku, aspek kesehatan, periode waktu atau umur konsumsi hingga cara penanganannya. Penyajian produk pangan yang tidak memenuhi syarat utama yaitu aspek kesehatan sudah barang tentu tidak akan menarik di mata konsumen.
Usaha industri kue lumpur buah nangka bertabur keju yang akan saya dirikan adalah jenis usaha industri rumahan berskala kecil yang khusus hanya memproduksi makanan olahan berupa kue yang berbahan baku buah nangka. Alasan saya dalam memilih usaha industri kue lumpur buah nangka bertabur keju, berdasarkan atas pertimbangan-pertimbangan sebagai beriktut:
(a)    Kue Lumpur merupakan makanan sudah banyak dikenal orang dan banyak disukai oleh semua kalangan, dari anak kecil sampai orang dewasa, dari kalangan rakyat kecil sampai kalangan kelas atas,
(b)   Bahan baku buah nangka dan buah pisang merupakan jenis buah-buahan yang dengan mudah dapat diperoleh di daerah tempat saya akan melakukan usaha industi kue lumpur buah nangka bertabur keju, karena lingkungan tempat saya tinggal banyak sekali ditanam buah nangka.
(c)    Jadi untuk mengatasi hasil panen buah nangka yang melimpah serta  untuk meningkatkan harga buah nangka, saya ingin mengubah buah nangka menjadi kue lumpur yang kemudian tujuan terakhir yaitu untuk memenuhi kepuasan konsumen.

BAB II
DESKRIPSI POHON INDUSTRI NANGKA

Pohon nangka termasuk ke dalam suku Moraceae, nama ilmiahnya adalah Artocarpus Heterophyllus. Dalam bahasa Inggris, nangka dikenal sebagai Jackfruit. Umumnya pohon ini berukuran sedang, sampai sekitar 20 meter tingginya, walaupun ada yang mencapai 30 meter.
Batang bulat silindris, sampai sekitar 1 meter garis tengahnya.Tajuknya padat dan lebat, melebar dan membulat apabila ditempat terbuka. Seluruh bagian tumbuhan mengeluarkan getah putih pekat apabila dilukai. Buah majemuk (syncarp) berbentuk gelendong memanjang, seringkali tidak merata, panjangnya hingga 100 cm, pada sisi luar membentuk duri pendek luar.
Daging buah yang sesungguhnya adalah perkembangan dari tenda bunga, berwarna kuning keemasan apabila masak, berbau harum manis yang keras, berdaging terkadang berisi cairan (nektar) yang manis. Biji berbentuk bulat lonjong sampai jorong agak gepeng, panjang 2 - 4 cm, berturut - turut tertutup oleh kulit biji yang tipis coklat seperti kulit, endokrap yang liat keras keputihan, dan eksokrap yang lunak. Keping bijinya tidak setangkup.Berikut ini adalah penjelasan bagian tanaman nangka beserta manfaatnya:
1. Daun
Daun-daun nangka merupakan pakan ternak yang disukai kambing, domba maupun sapi. Daun tanaman ini di rekomendasikan oleh pengobatan ayurveda sebagai obat antidiabetes karena ekstrak daun nangka memberi efek hipoglikemi (Chandrika,2006). Selain itu daun pohon nangka juga dapat digunakan sebagai pelancar ASI, borok (obat luar), dan luka (obat luar).
2. Bunga
Sementara diseputaran Jakarta dan Jawa Barat, bongkol bunga jantan (disebut babal atau tongtolang) kerap dijadikan bahan rujak. Ketupat gulai nangka, contoh olahan dari "buah" nangka muda.
3. Buah           
Nangka terutama dipanen buahnya. Daging buah nangka muda (tewel) dimanfaatkan sebagai makanan sayuran yang mengandung albuminoid dan karbohidrat. Buah nangka muda sangat digemari sebagai bahan sayuran. Di Sumatera, terutama di Minangkabau, dikenal masakan gulai nangka. Di Jawa Barat buah nangka muda antara lain dimasak sebagai salah satu bahan sayur asam.Di Jawa Tengah dikenal berbagai macam masakan  dengan bahan dasar buah nangka muda (disebut gori), seperti sayur lodeh, sayur megena, oseng - oseng gori, dan jangan gori (sayur nangka muda). Di Yogyakarta nangka muda terutama dimasak sebagai gudeg.
Daging buah yang matang seringkali dimakan dalam keadaan segar, dicampur dalam es, dihaluskan menjadi minuman (jus), atau diolah menjadi aneka jenis makanan daerah: dodol nangka, kolak nangka, selai nangka, nangka goreng tepung, keripik nangka, dan lain - lain.Nangka juga digunakan sebagai pengharum es krim dan minuman, dijadikan madu nangka, konsentrat atau tepung
4. Biji  
. Biji nangka, dikenal sebagai "beton", dapat direbus dan dimakan sebagai sumber karbohidrat tambahan. Biji nangka dapat diolah menjadi tepung yang digunakan sebagai bahan baku industri makanan (bahan makan campuran). Selain itu biji nangka dapat digunakan sebagai obat batuk dan tonik (Heyne. 1987).
5. Kayu (batang)
Kayunya berwarna kuning di bagian teras, berkualitas baik dan mudah dikerjakan. Kayu ini cukup kuat, awet dan tahan terhadap serangan rayap atau jamur, serta memiliki pola yang menarik, gampang mengkilap apabila diserut halus dan digosok dengan minyak. Karena itu kayu nangka kerap dijadikan perkakas rumah tangga, mebel, konstruksi bangunan, konstruksi kapal sampai ke alat musik.
Dari kayunya juga dihasilkan bahan pewarna kuning untuk mewarnai jubah para pendeta Buddha.Kulit batangnya yang berserat, dapat digunakan sebagai bahan tali dan pada masa lalu juga dijadikan bahan pakaian. Getahnya digunakan dalam campuran untuk memerangkap burung, untuk memakal (menambah) perahu dan lain - lain.Getah kulit kayu juga telah digunakan sebagai obat demam, obat cacing dan sebagai antiinflamasi. Pohon nangka dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Kandungan kimia dalam kayu adalah morin, sianomaklurin (zat samak), flavon, dan tannin.
Selain itu, dikulit kayunya juga terdapat senyawa flavonoid yang baru, yakni morusin, artonin E, sikloartobilosanton, dan artonol B (Ersam, 2001). Bioaktivitasnya terbukti secara empirik sebagai antikanker, antivirus, antiinflamasi, diuretil, dan antihipertensi (Ersam, 2001).
Manfaat Nangka Untuk Kesehatan.
Buah nangka mengandung vitamin A, B, dan C dalam bentuk senyawa thiamin, riboflavin, dan niacin. Juga mengandung mineral seperti calcium, potassium, ferrum (zat besi), magnesium, dalam jumlah yang cukup banyak bila dibandingkan dengan berbagai buah lainnya.Buah Nangka mempunyai kandungan gizi yang tinggi, 100 gram buah nangka memiliki 106 kalori, 27,6 gram karbohidrat dan 1,2 gram protein. Namun sebaiknya jangan berlebihan makan buah yang manis enak ini karena akan menimbulkan banyak gas dalam perut.Dengan kandungan nutrisinya yang banyak, buah jenis ini memberikan beragam manfaat untuk kesehatan, antara lain:
  1. Memperkuat sistem kekebalan tubuh
Buah nangka sumber vitamin C dan antioksidan yang sangat baik, untuk membantu memperkuat sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan fungsi sel darah putih.
  1. Kurangi resiko jantung dan stroke
Buah yang kaya akan kalium ini baik untuk mengontrol tekanan darah dan bisa mengurangi resiko terkena penyakit jantung dan stroke. Selain itu, juga baik untuk menjaga keseimbangan elektrolit.


  1. Proteksi terhadap kanker
Buah nangka mengandung fitonutrien seperti lignan, isoflavon, dan saponin yang membentuk proteksi tubuh melawan timbulnya sel kanker.
  1. Menjaga kesehatan kulit
Nangka memiliki kandungan vitamin A dan antioksidan yang tinggi, yang baik untuk menjaga dan memelihara kesehatan kulit.
  1. Penambah energi
Buah nangka mengandung gula alami seperti fruktosa dan sukrosa. Daging buahnya yang empuk, manis, legit dan renyah membuat tubuh segar kembali.
  1. Mengoptimalkan fungsi tubuh
Buah nangka mengandung mineral seperti mangan, zat besi, vitamin B6, niasin, asam folat yang berfungsi untuk mengoptimalkan fungsi tubuh.








BAB III
PRODUK YANG DI USULKAN
Kue Lumpur
Usaha industri kue lumpur buah nangka bertabur keju yang akan saya dirikan adalah jenis usaha industri rumahan berskala kecil yang khusus hanya memproduksi makanan olahan berupa kue yang berbahan baku buah nangka.
Proses produksi kue lumpur buah nangka bertabur keju.
Kue lumpur nangka bertabur keju akan diproduksi dengan proses sebagai berikut:
a)      Buah nangka matang dikupas dan dibuang bijinya, kemudian dicuci dan dipotong dadu kecil-kecil  dengan ketebalan 2 cm.
b)      Kupas butir kelapa kemudian di cuci dan di parut, setalah itu diberi air kemudian diperas hingga menjadi santan.
c)      Kocok telur dan gula pasir hingga mengembang.Tambahkan tepung terigu, aduk rata.
d)      Masukkan santan, dan garam, aduk rata.
e)      Tuang adonan ke dalam cetakan kue lumpur, taburi dengan nangka dan kismis, masak hingga matang kemudian taburi kue lumpur dengan keju , angkat dan sajikan.
Keunggulan dan Prospek
Keunggulan
Kue Lumpur nangka bertabur keju adalah perusahaan perseorangan yang dijalankan oleh Fitri Apriyani sebagai pemilik perusahaannya. Perusahaan ini bergerak di bidang usaha pasca panen nangka dengan cara melakukan pengolahan buah nangka menjadi kue lumpur buah nangka bertabur keju. Dalam hal ini perusahaan menjual keberbagai sekolah mulai dari tingkat SD sampai ke tingkat perguruan tinggi disekitar peusahaan dan perusahaan kue ini  melayani pemesanan kue untuk acara arisan, acara seminar, acara pesta, ataupun acara rapat bagi para pegawai kantor.


Prospek Pengembangan Usaha
Prospek pengembangan usaha sangat menjanjikan mengingat pasar yang cukup besar dengan inovasi untuk memenuhi kepuasan konsumen yang terus meningkat. Hal ini disebabkan karena selama manusia hidup akan selalu memerlukan pangan untuk kebutuhan hidupnya. Jadi usaha dalam bidang pangan orientasinya bisa seumur hidup.
Sedangkan  rencana pengembangan usaha:
1. Strategi pemasaran:
a. Pengembangan produk
b. Pengembangan wilayah pemasaran
c. Promosi
d. Strategi penetapan harga
2. Pengembangan produksi dengan penambahan kapasitas produksi
3. Penambahan dan pengembangan sumber daya manusia
4. Pemanfaatan teknologi informasi


















DAFTAR PUSTAKA
Candrika, 2006, Hypoglycaemic Action Of The Flavanoid Fraction of Artocarpus heterophyllus Leaf, Afr. J. Trad. CAM, 3 (2) : 42-50
Ersam, T., 2001, Senyawa Kimia Makromolekul beberapa Tumbuhan Artocarpus Hutan Tropika Sumatera Barat, Disertasi ITB, Bandung
Heyne, K., 1987, Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II, Badan Litbang Kehutanan, Jakarta
Syamsuhidayat, S.S and Hutapea, J.R, 1991, Inventaris Tanaman Obat Indonesia, edisi kedua, Departemen Kesehatan RI, Jakarta